VIRALNEWS.ID, Tokyo - Rencana merger Honda dan Nissan menjadi sorotan, terutama dalam konteks persaingan dengan produsen kendaraan listrik (EV) asal China.
Keunggulan teknologi kendaraan listrik China, yang terus berkembang pesat, menghadirkan tantangan besar bagi produsen mobil tradisional, termasuk Honda dan Nissan.
Dilansir dari Reuters, ancaman ini berdampak signifikan pada rantai pasokan industri otomotif yang telah menjadi tulang punggung ekonomi Jepang selama bertahun-tahun.
Kerugian di Pasar China
Seperti banyak produsen mobil global, Honda dan Nissan menghadapi penurunan kinerja di China, pasar otomotif terbesar dunia.
Merek lokal seperti BYD menarik perhatian konsumen dengan kendaraan listrik dan hibrida yang dilengkapi teknologi perangkat lunak canggih.
Honda mencatat penurunan laba kuartalan sebesar 15% pada bulan lalu akibat performa buruk di China.
Perusahaan ini juga mengurangi jumlah tenaga kerjanya di negara tersebut.
Sementara itu, Nissan berencana memangkas 9.000 pekerjaan secara global dan mengurangi kapasitas produksi sebesar 20%, akibat penurunan penjualan di China dan Amerika Serikat.
Pandangan Carlos Ghosn
Mantan CEO Nissan, Carlos Ghosn, turut mengomentari rencana merger ini. Dalam wawancaranya dengan Bloomberg Television, ia menyebut langkah tersebut sebagai keputusan nekat.
"Ini bukan kesepakatan pragmatis. Tidak ada sinergi antara Honda dan Nissan, karena mereka beroperasi di pasar dan segmen produk yang serupa," ujar Ghosn.
Menurut Ghosn, Honda tampaknya tidak begitu antusias dengan merger ini, tetapi diduga mendapat tekanan dari Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang.
Tekanan dari METI