“Kita sering terjebak dalam retorika toleransi, padahal di lapangan diskriminasi dan intoleransi masih terjadi. Kalau keberagaman tidak dijaga dengan adil, potensi konflik horizontal selalu ada,” urai Bamsoet.
Dosen tetap pascasarjana Universitas Pertahanan, Universitas Borobudur dan Universitas Jayabaya ini mendorong agar kebijakan pemerintah pusat dan daerah benar-benar menempatkan keberagaman sebagai kekuatan bangsa.
Program Pendidikan Pancasila yang kembali masuk ke kurikulum sekolah harus diimplementasikan secara aplikatif, bukan sekadar hafalan.
Anak-anak harus diajak mengalami langsung makna persatuan dan keberagaman, misalnya melalui program lintas budaya, kerja sosial, ataupun pertukaran pelajar di dalam negeri.
"Nilai-nilai kebangsaan harus menjadi roh kebijakan publik. Persatuan bukan sekadar jargon, keberagaman bukan sekadar slogan, dan kemanusiaan bukan sekadar retorika. Di DPR, kami terus mendorong regulasi yang melindungi minoritas dan memperkuat pendidikan karakter," jelas Bamsoet.
Ketua Umum Keluarga Besar Olahraga Tarung Derajat dan Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menambahkan, penting pula membangun peradaban baru yang berlandaskan nilai kemanusiaan.
Sebab, pembangunan ekonomi tanpa etika hanya akan memperparah ketimpangan dan merusak lingkungan.
Bamsoet mengapresiasi gerakan pemuda di berbagai daerah yang aktif dalam aksi iklim, reforestasi, dan kampanye lingkungan.
Program UNDP Indonesia tahun 2024 bahkan mencatat semakin banyak anak muda yang terlibat dalam proyek energi terbarukan dan pengelolaan sampah berbasis komunitas.
"Indonesia kini menghadapi tantangan besar dari krisis iklim. Laporan UNICEF tahun tahun 2024 menyebutkan jutaan anak Indonesia masuk kategori sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kalau pembangunan kita terus mengorbankan lingkungan, itu sama saja meninggalkan bom waktu bagi generasi berikutnya,” pungkas Bamsoet. (bs)