VIRALNEWS.ID - Sejak awal Pilpres 2022 hingga tahun 2024, panggung politik Indonesia telah menjadi arena bagi pertunjukan yang disebut sebagai "teater hipokrit". Dr. R.H. Handini W, mahasiswa program Doktor Ilmu Komunikasi dari USAHID, turut menyoroti fenomena ini.
Dalam pandangannya, pertunjukan politik ini diwarnai oleh pernyataan yang bertentangan, serta tindakan yang tidak konsisten dengan ucapan.
“Memilukan, dulu bilang begitu, kini bilang begini. Ucap dan laku yang mencerminkan hipokrisi. Laku hipokrit seperti itu, seakan mendapatkan permakluman di panggung politik,” ucapnya, Rabu, 31 Januari 2024.
Salah satu contoh yang diangkat adalah penolakan isu 'tiga periode' oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui media, padahal jejak digital menunjukkan bahwa isu tersebut memang muncul di internal PDIP.
Isu tersebut kemudian berganti dengan upaya melanggengkan kekuasaan melalui putra tertua Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang akhirnya menjadi Calon Wakil Presiden pada Pilpres 2024.
Dr. Handini menyoroti bahwa hipokrisi dalam panggung politik bukan hanya sekadar pelanggaran moral, tetapi juga menciderai ajaran agama dan tradisi. Dia menegaskan perlunya menolak budaya hipokrit dan menuntut pertanggungjawaban pelakunya.
Baca Juga: ALVA Capai Standar ISO 9001 dan ISO 14001 sebagai Komitmen Utama dalam Mutu dan Berkelanjutan
“Kita mesti menolak budaya hipokrit, dan menyeret pelakunya ke pengadilan. Bila budaya ini makin berkembang, wajah demokrasi yang diagungkan akan bernuansa pseudo (palsu) demokrasi. Bila demokrasi makin palsu dan keropos, maka Republik yang bersendi demokrasi Pancasila ini terancam sebesar-besarnya dari berbagai arah, luar dan dalam, horizontal dan vertical,” kata dia.
Menyoroti persoalan di Mahkamah Konstitusi, Dr. Handini mengamati bahwa drama pseudo demokrasi juga terjadi.
Putusan yang memuluskan Gibran sebagai cawapres, meskipun digugat aturan usia Capres dan Cawapres minimal 40 tahun, menunjukkan kompleksitas politik dan hukum yang membingungkan.
“Keinginan untuk melanggengkan kenyamanan dan kenikmatan dalam berkuasa, bahasa kerennya politik dinasti, adalah naluri purba manusia sebagai mahluk primitif. Kekuasaan sudah ada dalam masyarakat primitif, dengan menunjuk siapa kuat dia paling berkuasa, dan siapa berkuasa, dia yang memimpin,” katanya.
Pemilihan presiden dan wakil presiden selanjutnya, kata dia, harus didasarkan pada pemikiran yang jernih dan nurani yang sehat, karena tangan mereka akan menentukan arah bangsa Indonesia.
Dr. Handini menyoroti fenomena politik dinasti yang tampak dalam karier Presiden Jokowi, yang telah memenangkan pemilihan dalam berbagai tingkatan pemerintahan.
Dia mencatat bahwa Jokowi tampaknya terperangkap dalam keinginan untuk melanjutkan kekuasaan, yang tercermin dalam upayanya untuk menetapkan penerus yang setia dengan program-programnya.
Dia menyoroti peran media dalam membentuk opini publik tentang pemilihan presiden berikutnya, dan menekankan pentingnya pemilihan yang berdasarkan pada pikiran yang jernih dan nurani yang sehat.
Dr. Handini mengakhiri analisisnya dengan mengingatkan bahwa tangan presiden dan wakil presiden yang terpilih akan menentukan arah masa depan bagi 278 juta rakyat Indonesia.
“Namun itu hanya andai-andai dan harus kita kesampingkan. Sekarang yang perlu difokuskan adalah bagaimana kita memilih presiden dengan pikiran dan intuisi yang jernih, dengan akal dan nurani yang sehat, dari tiga pasangan calon yang ada. Karena ditangan presiden dan wakil presiden terpilih akan menentukan arah bangsa dan nasib 278 juta jiwa rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Artikel Terkait
Polisi Akui Sita Medsos dan Email Aiman Witjaksono
Menteri Keuangan Sri Mulyani Bertemu Jokowi, Ini yang Mereka Bahas
Ammar Zoni Ajukan Banding Terkait Nafkah dan Hak Asuh Anak
Gus Ipul Sebut PKB Salah Strategi, Cak Imin: Saya Ikut Gus Ipul Saja
Prabowo-Gibran Mendominasi Elektabilitas di Jawa Timur Menurut Survei Indikator Politik